BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Banyak sengketa waris terjadi diantara para ahli waris, baik
terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan. Hukum
waris merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hak dan
kewajiban diantara anggota masyarakat khususnya bidang keluarga. Indonesia
mempunyai beragam adat, budaya serta latar belakang yang melandasi kehidupan
masyarakatnya. Begitu pula dalam hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam
bergantung pada sifat kedaerahan. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia,
banyak pula jumlah hukum waris adat yang ada.
Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi
hukum waris di Indonesia. Faktor yang menjadi kendala penyatuan hukum waris di
Indonesia tidak lain dari beragamnya masyarakat di Indonesia. Hal yang
terpenting di sini adalah keadilan bagi masyarakat dalam bidang waris dapat
mereka rasakan. Meskipun hal ini dapat dianggap adanya ketidak pastian hukum
dibidang waris. Akibatnya, hukum waris yang dipakai di Indonesia bergantung
pada pewaris dan ahli warisnya.
Untuk ini, agar kita semua bisa memahami perbedaan hukum
waris yang ada di Indonesia, makalah ini akan menyajikan salah satu hukum waris
adat yakni Sistem Hukum Waris Adat Matrilineal, yang mana hukum waris ini terdapat
di daerah Minangkabau.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Waris mengenai anak
kandung laki-laki maupun perempuan?
1.2.2
Waris mengenai anak
angkat, anak tiri, anak akuan?
1.2.3
Waris mengenai anak
sulung?
1.2.4
Waris dengan hibah
wasiat?
1.2.5
Waris janda/duda, ibu,
bibi, saudara?
1.2.6
Waris kehilangan hak
waris, waris punah, waris menolak warisan?
1.3
Tujuan
Masalah
1.3.1
Waris mengenai anak
kandung laki-laki maupun perempuan
1.3.2
Waris mengenai anak
angkat, anak tiri, anak akuan
1.3.3
Waris mengenai anak
sulung
1.3.4
Waris dengan hibah
wasiat
1.3.5
Waris janda/duda, ibu,
bibi, saudara
1.3.6
Waris kehilangan hak
waris, waris punah, waris menolak warisan
1.4
Manfaat
1.4.1
Untuk mengetahui waris
mengenai anak kandung laki-laki maupun perempuan
1.4.2
Untuk mengetahui waris
mengenai anak angkat, anak tiri, anak akuan
1.4.3
Untuk mengetahui waris
mengenai anak sulung
1.4.4
Untuk mengetahui waris
dengan hibah wasiat
1.4.5
Untuk mengetahui waris
janda/duda, ibu, bibi, saudara
1.4.6
Untuk mengetahui waris
kehilangan hak waris, waris punah, waris menolak warisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Waris Mengenai Anak Kandung Baik
Laki-Laki Maupun Perempuan
Semua anak
yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Apabila
perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak kandung yang sah,
apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung
yang tidak sah. Anak kandung yang sah adalah ahli waris dari orang tuanya yang
melahirkannya, sedangkan anak kandung yang tidak sah ada kemungkinan sebagai
berikut:
a. Tidak berhak sebagai ahli waris dari
orang tua yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya.
b. Hanya berhak sebagai ahli waris dari
ibu yang melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari ibunya
c. Berhak sama dengan anak kandung yang
sah sebagai ahli waris dari ayah ibu kandungnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 dikatakan bahwa
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah, selanjutnya menurut pasal 43 ayat 1 dikatakan anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Perkataan “diluar perkawinan” sebenarnya tidak sama dengan pengertian “dalam
perkawinan yang tidak sah”. Oleh karena “diluar perkawinan berarti tidak
melakukan perkawinan alias perzinahan, lain halnya dengan perkawinan yang tidak
sah yang belum tentu dapat dikatakan perzinahan. Hal ini dapat menimbulkan
salah tafsir. (Hilman Hadikusuma, 1995: 143-144)
Menguraikan
sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, tidak dapat terlepas
dari sistem kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.
Demikian pula halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat
matrilineal di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang
menarik garis keturunan dari pihak ibu. Sistem kekeluargaan di Minangkabau
adalah sistem yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut
garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta
saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut,
maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik
untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa
generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.
2.2 Waris Mengenai Anak Angkat, Anak Tiri, Anak Akuan
2.2.1 Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain
yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat,
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas
harta kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap anak
kemekan sendiri yang biasanya diambil dari keturunan yang lebih muda dan
pengangkatan anak tersebut harus terang kejelasannya dan disetujui oleh semua
anggota kerabat yang bersangkutan. Kedudukan anak angkat demikian sama halnya
dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya
dari orang tua angkatnya, dan anak angkat itu tidak lagi mewaris dari orang tua
kandungnya, kecuali apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak lelaki
lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari dua orang ayah
bersaudara. (Hilman Hadikusuma, 1995: 149-150)
Meskipun anak angkat dalam agama
islam tidak berhak mewarisi disebabakan pewarisan haruslah berdasarkan
hubungana darah, tetapi dibeberapa masyarakat adat ada semacam kebijakan
tertentu bahwa anak angkat berhak mendapat harta warisan orang tua angkatnya.
Sejauh mana anak angkat dapat mewaris dari orang tua angkatnya, perlu dilihat
latar belakang terjadinya pengangkatan anak, diantaranya karena tidak memiliki
keturunan, tidak ada penerus keturunan, menurut adat perkawinan setempat,
hubungan baik dan meningkatkan tali persaudaraan, rasa kekeluargaan dan peri
kemanusian, dan kebutuhan akan tenaga kerja. (I Gede A.B Wiranata:
2005:260-261)
2.2.2 Anak Tiri
Anak tiri yang dimaksud di sini
adalah anak kandung yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan,
sehingga salah seorang dari mereka menyebut anak itu sebagai anak tiri. Jadi
anak tiri adalah anak bawaan dalam perkawinan. Kedudukan anak tiri di dalam
suatu keluarga/rumah tangga di kalangan masyarakat adat juga terdapat
perbedaan-perbadaan, baik dikarenakan susunan kekerabat maupun karena bentuk
perkawinan ayah atau ibu kandung dengan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang
tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsertakan dalam perkawinan, baik untuk
memelihara atau mendidik mereka tidak ada ubahnya dengan anak sendiri. Demikian
pula sebaliknya kewajiban anak tiri terhadap orang tua tiri yang memelihara dan
mendidiknya. Namun demikian harus diperhatikan bahwa ayah tiri dalam perkawinan
kedua tidak boleh begitu saja melakukan transaksi atas hak milik anak tiri yang
masih dibawah umur tanpa ada kesepakatan anggota kerabat. Kedudukan anak tiri
dalam bentuk perkawinan jujur atau semanda tidak terlepas dari pengaruh
kekerabatan ayah atau kekerabatan ibu. Lain halnya dalam bentuk perkawinan
mentas, yang berlaku para masyarakat adat seibu sebapak, di mana harta
perkawinan orang tua dapat dipisah-pisahkan dengan nyata, antara harta bawaan,
harta penghasilan, harta pencaharian dan barang-barang hadiah perkawinan. Dalam
hal ini anak tiri pada dasarnya hanya mewaris dari orang tua yang
melahirkannya. (Hilman Hadikusuma, 1995: 148)
2.2.3 Anak Akuan
Anak akuan atau juga di sebut “anak
semang” (Minangkabau), “anak pupon atau anak pungut” (Jawa),
ialah anak orang lain yang diakui anak oleh orang tua yang mengakui karena
belas kasihan atau juga dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga pembantu tanpa
membayar upah. Demikian kita bnayak dapat melihat keluarga/rumah tangga
seseorang yang tidak saja memelihara anggota keluarga sendiri, tetapi juga
orang lain yang terdiri dari orang-orang yang kehidupannya susah. Disamping itu
ada kemungkinan suatu keluarga yang tidak atau belum mempunyai keturunan,
mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai “anak panutan” sebagai anak
pancingan, agar keluarga yang memelihara anak itu mendapat keturunan karenanya.
Kedudukan
anak-anak akuan terhadap orang tua yang mengakui bukan sebagai warisnya, oleh
karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si
anak dengan orang tua kandungnya. Kecuali jika kedudukan si anak dirubah dari
anak akuan menjadi anak angkat. Adakalanya anak akuan itu mendapat bagian harta
warisan dari orang tua yang mengakuinya, hal demikian dilakukan karena kebijaksanaan
atau belas kasihan orang tua atau pihak kerabat yang mengakuianya.
2.3 Waris Mengenai Anak Sulung
Ahli waris dalam masyarakat matrilineal
Ahli waris masyarakat matrilineal adalah anak-anak perempuan, sedangkan
anak-anak laki-laki bukan ahli waris. Ahli waris perempuan menguasai dan
mengatur harta warisan tetapi dibantu saudara laki-lakinya.
Anak perempuan sulung Anak perempuan
sulung berkedudukan sebagai "tunggu tubang" (penunggu harta) dari
semua warisan orang tuanya, yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya
kepada ahli waris anak perempuan yang lain. Di dalam menguasai dan mengatur
harta warisan ini, la dibantu saudara laki-lakinya yang tertua yang disebut
"payung jurai" (pelindung keturunan).
Anak laki-laki bisa sebagai ahli waris, apabila dalam keluarga tersebut
tidak mempunyai anak perempuan, Jadi, kedudukannya sebagai ahli waris pengganti
dengan melaksanakan perkawinan ambil perempuan.
2.4. Waris Dengan Hibah
Wasiat
Hibah-wasiat merupakan jalan pemilik
harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang
pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah
ia meninggal dunia. Hibah-wasiat maksudnya ialah mewajibkan para ahli warisnya
membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya
serta mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta
peninggalannya di kemudian hari di antara para ahli waris. Hibah-wasiat dapat
meliputi sebagian harta kekayaan yang akan ditinggalkan. Menurut Prof. Soepomo
penghibahan mempunyai dua corak sebagai berikut:
a.
Mereka yang menerima barang-barang
harta itu adalah ahli waris, yaitu isteri dan anak-anak. Jadi tidak lebih dari
perpindahan harta benda di dalam ahli waris.
b.
Orang tua yang mewariskan itu
meskipun terikat dengan peraturan, bahwa segala anak harus mendapat bagian yang
layak sehingga tidak melenyapkan hak waris kepada anak atau isteri.
Fungsi lain dari hibah-wasiat ini
untuk mengadakan koreksi terhadap hukum waris menurut peraturan-peraturan
tradisional atau agama yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh peninggal
warisan.
2.5. Waris
Janda/Duda, Ibu, Bibi, Saudara
Untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris,
tergantung pada jenis harta yang diwariskan atau diterima oleh ahli waris. Pada
rnasyarakat adat Minangkabau biasanya diadakan perbedaan antara harta pusaka
dengan harta pencarian. Harta pusaka di Minangkabau, biasanya harta kekayaan tersebut
merupakan harta peninggalan turun temurun dari zaman leluhur dan merupakan
milik bersama sekerabat dan berada dibawah kekuasaan serta pengawasan tua-tua
adat (penghulu, mamak kepala waris). Harta pusaka tersebut merupakan harta
pusaka tinggi yang tidak terbagi-bagi oleh pemiliknya tetapi hanya terbagi hak
pakainya saja. Harta pusaka tinggi berupa sawah, tanah perladangan dan bangunan
rumah adat atau rumah gadang. Kesemuannya itu adalah milik kaum ibu yang
menjadi pusat penguasaannya. Harta pusaka ini disamping tidak boleh
dibagi-bagi, juga tidak boleh dijual kecuali dalam keadaan terpaksa hanya boleh
digadaikan. Disamping
itu ada harta pusaka rendah yang artinya semua harta peninggalan dari satu atau
dua angkatan kerabat. Harta pusaka ini merupakan harta bersama kerabat yang
tidak terbagi-bagi pemilikannya dan akan terus dapat bertambah dengan masuknya
harta pencaharian dari para ahli warisnya.
Menurut Landraad Bankinang tanggal 9 Oktober 1935
yang diperkuat Raad van Justitie Padang tanggal 23 April 1936 menyertakan
ketentuan adat di Minangkabau maka harta yang diperoleh semasa perkawinan
disebut harta persaurangan atau harta pencarian dan isteri berhak atas sebagian
dari harta pencarian itu, dengan ketentuan bahwa pembagian hanya dapat
dilakukan apabila perkawinan tersebut berakhir atau adanya perceraian, pada
pembagian suami isteri masing-masing memperoleh bagian yang sama dari harta
tersebut setelah dibayar terlebih dahulu hutang-hutangnya.
2.5.1. Kedudukan Janda
Kedudukan janda menurut ketentuan hukum adat pada
saat ini telah mengalami penggeseran dan perubahan. Dikatakan demikian karena
dalam perkembangannya sudah banyak masyarakat pedesaan yang menuntut ilmu
keluar daerah sehingga pola pikir mereka semakin maju yang menuntut persamaan
hak antara pria dan wanita, sehingga mereka lebih menghargai hak dan kedudukan
wanita apalagi wanita tersebut sebagai isteri dan sebagai ibu yang banyak
berjasa dalam kehidupan berumah tangga. Dengan perkembangan pola pikir dan
ditambah dengan pembauran dengan masyarakat adat lain maka perkembangan hukum
waris adat sekarang cenderung pada kearah yang lebih netral yaitu mendekati
asas persamaan hak antara pria dan wanita, sehingga sistem yang tadinya keras
dan kokoh terhadap aturan adatnya menjadi lebih toleran dan manusiawi terutama
menjadi semakin menghargai hak dan kedudukan janda terhadap harta peninggalan
suaminya.
Hak dan kedudukan janda
menurut hukum waris adat suku Dayak Ngaju adalah bahwa janda diakui sebagai
ahli waris, Namun harta warisan suaminya tidak boleh dikuasai sendiri tetapi
dikelola bersama-sama untuk kepentingan bersama (para janda dan anak-anaknya).
Baik isteri pertama Maupun isteri kedua kedudukannya sama sebagai ahli waris
atas harta peninggalan suaminya. Namun isteri pertama biasanya lebih dihormati
dalam keluarga, seperti keputusan masalah-masalah keluarga terlebih dahulu
dimintakan pendapat isteri tertua. Apabila janda tersebut kawin lagi baik
dengan kerabat sendiri maupun dengan orang luar suku maka kedudukanya sebagai
ahli waris dicabut.
Adapun juga kedududkan janda di
daerah Minangkabau, disini Janda wajib tetap berada
dalam ikatan kekelurgaan kerabat suaminya, bahkan sering janda menjadi isteri
dari saudara suaminya. Sebenarnya
dalam stelsel kekeluargaan matrilineal mengandung prinsif tidak mengenal adanya
harta bersama. Baru pada tahun 1963 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA)
Nomor 290/Sip/1963 telah ditetapkan bentuk harta bersama dikalangan masyarakat
Minangkabau. Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut dipertimbangkan bahwa
menurut hukum adat Minangkabau dalam perkembangannya dewasa ini seorang suami
dapat menghibahkan harta pencariannya kepada isterinya.
2.5.2. Kedudukan Duda
Pada masyarakat matrilineal yang sistem
pewarisannya ditarik dari garis perempuan atau ibu, seperti pada masyarakat
Minangkabau yang bentuk perkawinannya adalah samanda bahwa seorang duda tidak
mewaris harta peninggalan dari almarhum isterinya. Apabila duda tersebut tidak
kawin lagi dengan saudara kandung mendiang isterinya dulu, maka anak - anak dan
harta warisan tinggal ditempat isteri diurus oleh kepala waris, dan apabila
duda tidak mempunyai anak dan pergi meninggalkan tempat kedudukan isterinya
semula maka ia hanya diperkenankan membawa bagian harta pencarian saja.
Di daerah Lampung banyak yang melaksanakan
perkawinan Semanda misalnya di daerah lampung peminggiran, janda sebagai
penguasa dan pemilik harta bukan ahli waris suaminya. Oleh karena harta
pencarian bersama suaminya pada dasarnya dikuasai oleh isteri. Dan apabila
isteri yang meninggal dunia dan suami pergi dari tempat isterinya maka ia hanya
berhak atas sebagian dari harta pencaharian, jika janda tidak mempunyai
keturunan anak. Akan tetapi jika ada keturunan anak maka harta tersebut
diberikan kepada anaknya semua.
2.5.3. Waris
Ibu
Ibu merupakan simbol kehormatan dan kemuliaan dalam
masyarakat. Di
Minangkabau Ibu memiliki kedudukan yang khusus yang berbeda dari kedudukan ibu
secara umum. Kedudukan yang khusus bagi seorang ibu dalam adat minangkabau
dipengaruhi oleh sistem kekerabatan matrilineal yang khas. Ibu adalah sebutan bagi perempuan
dewasa yang layak disebut sebagai bundo kanduang. Menurut garis kekerabatan
matrilineal, pemilik harta di minangkabau adalah kaum wanita. Laki-laki tidak
berhak untuk memiliki harta pusaka, namun ia diberi kewajiban untuk
mengembangkan harta tersebut. Harta yang kita maksud adalah harta pusaka. Penguasaan
harta pusaka berdasarkan matrilineal berada pada wanita tertua dalam sebuah
kaum. Wanita ini disebut Amban Puruak. Harta pusaka diatur penggunaannya oleh
Amban Puruak. Oleh sebab itu Amban Puruak merupakan lambang kekuasaan ibu dalam
sebuah kaum. Harta ini merupakan warisan turun temurun menurut garis ibu, dan
tidak boleh dibagi-bagi oleh pewarisnya. Harta pusaka adalah warisan yang menurut adat
minangkabau diterima dari mamak kepada kemenakan. Setiap harta pusaka selalu
dijaga pelihara agar tetap utuh. Menjaga keutuhan harta pusaka ini berarti
menjaga keutuhan kaum kerabat. Hingga harta ini dapat diturunkan kepada
generasi berikutnya, sebagai penerus keturunan. Begitulah proses harta pusaka
dijaga dan dipertahankan.
Harta diturunkan dari mamak kepada kemenakan, kemenakan disini adalah
kemenakan yang perempuan sebagai penerus garis keturunan. Kemenakan yang
laki-laki tidak berhak untuk mendapatkan warisan tersebut. Walau demikian
kemenakan yang laki-laki diberi kewajiban untuk menjaga dan mengembangkan harta
pusaka tersebut. Dalam penggunaannya di atur oleh kaum ibu (perempuan). Sebagai
pemilik harta, ibu harus menggunakannya sesuai dengan ketentuan adat. Pada
dasarnya penggunaan harta tersebut dibagi menjadi 2 yaitu, pertama, harta
tersebut dikembangkan sehingga hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kedua, harta dan hasil harta yang telah dikembangkan tersebut disimpan untuk
keperluan nanti apabila ada kebutuhan yang mendesak. Akan tetepi dalam
penggunaannya dibatasi dan diatur oleh adat minangkabau.
2.5.4. Waris
Bibi
Seperti yang dijelaskan pada golongan keempat yaitu Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam
garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal
dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta
keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan
paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal).
Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat
keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah.
Dalam
Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta
peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi
milik negara, selanjutnya Negara wajib melunasi utang-utang si peninggal harta
warisan sepanjang harta warisan itu mencukupi. Cara pembagian harta warisan
golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu harta warisan
dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ayah
dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu
Ahli waris
ini diatur dalam pasal 858 KUHPerdata. Dalam hal tidak ada saudara baik
laki-laki maupun prempuan dalam garis keatas (artinya sudah tidak ada lagi
golongan I, II, dan III) maka keluarga terdekatlah yang masing-msing mendapat ½
bagian. Sementara 1/2 bagian
sisanya untuk bagian sanak saudara dalam garis lain. Seperti paman, bibi dari
garis ibu beserta keturunannya, pama, bibi dari garis ayah beserta
keturunannya. Dimana dari pihak ibu memperoleh seluruh harta warisan, sedangkan
bibi dari pihak ayah memperoleh seluruh harta warisan disebabkan tingkatnya
yang dekat.
2.5.5. Waris
Saudara
Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah
matrilineal descen yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan
prinsip ini, seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini juga
mempunyai arti pada penerusan harta warisan, dimana seorang anak akan
memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta
peninggalan yang sudah turun-temurun menurut garis ibu. Pada dasarnya kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek. Saudara
yang termasuk sebagai salah satu ahli waris, berhak untuk menggunakan harta
warisan yang menjadi bagian Saudara. Sebagai salah satu ahli waris, Anda dapat
meminta pembagian warisan karena Anda sebagai ahli waris tidak diharuskan
menerima berlangsungnya harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi. Apabila seseorang
meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seorang saudari
perempuan sekandung atau seibu, maka bagian saudarinya setengah bagian
dari harta yang ditinggalkan pewaris. Apabila almarhum hanya mempunyai saudara
perempuan sekandung atau seibu, maka saudaranya itu berhak mewarisi dari harta
peninggalan saudara atau saudarinya yang meninggal.
2.6. Waris
Kehilangan Hak Waris, Waris Punah,Waris Menolak Warisan
2.6.1. Waris
Kehilangan Hak Waris
Pada dasarnya proses beralihnya harta
kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya
karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi
beberapa unsur unsur persyaratan yang harus dipenuhi :
1. Ada
seseorang yang meninggal dunia atau pewaris (erflater). Dalam hukum
waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia,
maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli
warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan
hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang . Sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung
karena kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh
hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya.
2. Ada
seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada
saat meninggal dunia atau ahli waris (erfgenaam)
3. Ada
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan atau harta warisan (nalatenschap).
Dalam hal hilangnya hak mewarisi tidak
terdapat perbedaan antara ahli waris berdasar Undang-undang dan ahli waris
menurut wasiat. Orang-orang yang tidak berhak mendapat warisan/hilangnya hak
waris dari pewaris karena perbuatannya yang tidak patut (onvarding) seperti:
1. Karena
telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris (pasal 838 ayat 1).
2. Karena
memfitnah atau telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan
dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun (pasal 838 ayat 2)
3. Karena
dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si pewaris untuk membuat atau
mencabut surat wasiatnya (pasal 838 ayat 3)
4. Karena
telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris (pasal 838
ayat 4)
5. Menolak
untuk menjadi ahli waris (pasal 1057). Penolakan warisan tidak dapat dilakukan
hanya untuk sebagian harta warisan, ini karena penolakan warisan tersebut
mengakibatkan orang tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Pasal
1058KUHPerdata). Dengan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, maka orang
tersebut tidak berhak atas harta warisan.
Akibat hukum dari hilangnya hak waris
seseorang meurut KUH Perdata adalah tidak patut untuk mewaris dari harta
warisan orang tuanya dan konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan oleh para
ahli waris tesebut yang tidak pantas adalah batal dan bahwa seorang hakim dapat
menyatakan “tidak pantas”. Selanjutnya dalam pasal 839 KUHPerdata, mewajibkan
seorang ahli waris yang tidak pantas tersebut untuk mengembalikan hasil yang ia
telah petik dari barang-barang warisan. Dalam pasal ini jelaslah seseorang yang
telah menerima barang-barang pewaris yang kemudian dinyatakan tidak pantas
menjadi ahli waris, maka harus mengembalikan dari hasil yang telah ia terima
itu. Adapun Akibat dari menolak warisan ialah dianggap tidak pernah menjadi ahli
waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat
digantikan kedudukannya oleh anaknya-anaknya yang masih hidup.
2.6.2. Waris
Punah
Ada kemungkinan
seorang pewaris tidak mempunyai ahliwaris (punah) atau lazim disebutnunggul pinang.
Menurut ketentuanyang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis,
Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul
pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa. Selanjutnya
desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan
tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh kepada
desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten
Cianjur,kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkan kepada
desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepadaorang tidak mampu. Di
Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desadapat juga diserahkan kepada yayasan
sosial. Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa
barat di Bandung, memutuskan:“Apabila seseorang tidak mempunyai anak kandung,
maka keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yang merupakan
barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisan orang tuanya”. (PN. Indramayu
tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal 23
Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB.
2.6.3. Waris Menolak Warisan
Penolakan dalam hal waris ialah
seorang ahli waris yang menolak harta peninggalan dari ahli waris yang seharusnya
menjadi haknya, hal tersebut disebabkan beberapa hal atau masalah yang berkenan
dengan ahli waris dengan si pewaris.
Seorang ahli waris dapat menolak
warisan yang terbuka baginya. Apabila terjadi penolakan, maka saat itu mulai
berlakunya penolakan dianggap terjadi sejak hari meninggalnya si pewaris jadi
berlaku surut (Pasal 1047). Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan
pertanggungjawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima
pembagian harta peninggalan. Dalam hal seseorang
menolak warisan yang jatuh kepadanya, orang tersebut harus menolaknya secara
tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka (Pasal 1057 KUHPerdata).
Didalam Pasal 1057 Menyatakan
sebagai berikut:
“Menolak
suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu
penyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah
hukumnya telah terbuka warisan itu”.
Dari penjelasan pasal diatas
menekankan bahwa seorang ahli waris menolak untuk menerima suatu warisan, maka
si pewaris yang menolak tersebut harus memberikan suatu pernyataan dengan
tegas, bahwa warisan itu ditolaknya dan hal tersebut harus dilakukan menghadap
pengadilan di pengadilan negeri.
Hak untuk menolak baru timbul
setelah warisan terbuka dan tidak dapat gugur karena daluwarsa (pasal 1062).
Pasal 1063 Menyatakn sebagai
berikut:
“Sekalipun
dalam suatu perjanjiann kawin, tak dapatlah sesorang melepaskan haknya atas
warisan sesorang
yang masih hidup, begitupun tak dapatlah ia menjual hak-hak yang di kemudian
hari akan diperolehnya atas warisan yang seperti itu”.
Jika terdapat beberapa ahli waris,
maka yang satu boleh menolak sedangkan yang lain menerima warisan (Pasal 1050)
Akibat Penolakan
Azas pokonya tergantung dalam pasal
1104; harta peninggalan dibagi seolah-olah ahli waris yang telah menolak, tidak
ada. Pergantian tidak terjadi bagi dia. Sebagaimana yang telah dibentangkan,
bahwa pergantian hanya dapat terjadi untuk seorang yang meninggal lebih dahulu.
Undang-undang menutup pasal tersebut dengan kata-kata : “ apabila ia
satu-satunya ahli waris dalam derajatnya, atau semua ahli waris telah menolak
warisan, maka tampilah anak-anak untuk diri sendiri dan mewaris sama
banyak”. Hal ini benar
selama mengenai kelompok pertama dan kedua. Apabila semua anak pewaris menolak,
maka cucu mewarisi untuk diri sendiri, kecuali kalau ada suami dan istri,
karena ia menghalangi cucu tampil untuk diri sendiri, hal yang seperti itu juga
ditemukan dalam kelompok kedua.
Akibat penolakan warisan diatur
dalam pasal 1058, 1059, dan 1060.
Pasal 1058 BW menyatakan sebagai
berikut :
“si waris
yang menolak warisannya, diangap tidak pernah menjadi waris”
Maksud dari pasal tersebut
adalah apabial si pewaris yang sudah menolak warisan yang diberikan, maka ahli waris
tersebut dianggap tiak pernah ada.
Didalam Pasal 1059 menyatakan
sebagai berikut :
“Bagian
warisan seseorang yang menolak jatuh kepada mereka yang sedianya berhak atas
bagian itu, seandainya si waris yang menolak itu tidak hidup pada Waktu
meninggalnya orang yang mewariskan”.
Maksud dari pasal1059 diatas adalah ketika yang mewaris tersebut
menolak, dan ketika pada saat meninggalnya pewaris, si mewaris sudah meninggal,
maka bagian yang ditolak tersebut jatuh kepada orang yang berhak atas bagian
tersebut.
Pasal 1060 menyatakan sebagai
berikut :
“Siapa
yang menolak warisan, tidak sekali-kali dapat diwarisi dengan cara pergantian ,
jika ia satu-satunya waris di dalam derajatnya, atau jika kesemuanya waris
menolak , maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas Dasar kedudukan mereka
sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama”
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Sistem Matrilineal, yaitu sistem
yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu,
ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai
moyangnya. Minangkabau merupakan etnis yang
menganut tertib aturan hukum ibu (materilineal), dimana dalam pembagain waris
secara praktis ditentukan bahwa ahli waris diberikan hanya melalui satu garis
keturunan ibu kebawah diteruskan kepa anak cucu melalui anak perempuan, sama
sekali tidak ada yang melalui garis laki-lak baik ke atas maupun kebawah.
3.2.Saran
Semoga penulisan makalah ini dapat
berguna bagi kita dan juga orang yang lain, makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, kami mohon maaf apabila ada salah penulisan, salah maksud, dan salah
arti dari makalah ini, makalah ini masih perlu di benahi dan masih perlu di
perbaiki, agar makalah ini nantinya dapat berguna bagi orang lain yang
membutuhkannya.
Kami berharap ada yang mau memberikan masukan
untuk makalah ini, karna makalah ini masih perlu perbaikan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1995
I
Gede A.B Wiranata. Hukum adat Indonesia
Perkembangan dari Masa ke Masa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti:2005
Soerjono
Soekanto. Hukum Adat Indonesia-Ed.1-Cet.13.Jakarta:
Rajawali Pers, 2013
Anonim:
See more
at: http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/04/sistem-waris-kekeluargaan-matrilineal.html#sthash.7xghyQpd.dpuf Tanggal Akses: 12 September 2015
Anonim:
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/hukum-kekerabatan-dan-perkawinan.html
Tanggal Akses: 12 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar