Rabu, 30 September 2015

Makalah Hukum Waris Matrilineal Semester V



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Banyak sengketa waris terjadi diantara para ahli waris, baik terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan.  Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat khususnya bidang keluarga. Indonesia mempunyai beragam adat, budaya serta latar belakang yang melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitu pula dalam hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam bergantung pada sifat kedaerahan. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, banyak pula jumlah hukum waris adat yang ada.
Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia. Faktor yang menjadi kendala penyatuan hukum waris di Indonesia tidak lain dari beragamnya masyarakat di Indonesia. Hal yang terpenting di sini adalah keadilan bagi masyarakat dalam bidang waris dapat mereka rasakan. Meskipun hal ini dapat dianggap adanya ketidak pastian hukum dibidang waris. Akibatnya, hukum waris yang dipakai di Indonesia bergantung pada pewaris dan ahli warisnya.
Untuk ini, agar kita semua bisa memahami perbedaan hukum waris yang ada di Indonesia, makalah ini akan menyajikan salah satu hukum waris adat yakni Sistem Hukum Waris Adat Matrilineal, yang mana hukum waris ini terdapat di daerah Minangkabau.







1.2   Rumusan Masalah

1.2.1        Waris mengenai anak kandung laki-laki maupun perempuan?
1.2.2        Waris mengenai anak angkat, anak tiri, anak akuan?
1.2.3        Waris mengenai anak sulung?
1.2.4        Waris dengan hibah wasiat?
1.2.5        Waris janda/duda, ibu, bibi, saudara?
1.2.6        Waris kehilangan hak waris, waris punah, waris menolak warisan?


1.3  Tujuan Masalah

1.3.1        Waris mengenai anak kandung laki-laki maupun perempuan
1.3.2        Waris mengenai anak angkat, anak tiri, anak akuan
1.3.3        Waris mengenai anak sulung
1.3.4        Waris dengan hibah wasiat
1.3.5        Waris janda/duda, ibu, bibi, saudara
1.3.6        Waris kehilangan hak waris, waris punah, waris menolak warisan

1.4  Manfaat
1.4.1        Untuk mengetahui waris mengenai anak kandung laki-laki maupun perempuan
1.4.2        Untuk mengetahui waris mengenai anak angkat, anak tiri, anak akuan
1.4.3        Untuk mengetahui waris mengenai anak sulung
1.4.4        Untuk mengetahui waris dengan hibah wasiat
1.4.5        Untuk mengetahui waris janda/duda, ibu, bibi, saudara
1.4.6        Untuk mengetahui waris kehilangan hak waris, waris punah, waris menolak warisan




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Waris Mengenai Anak Kandung Baik Laki-Laki Maupun Perempuan
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah. Anak kandung yang sah adalah ahli waris dari orang tuanya yang melahirkannya, sedangkan anak kandung yang tidak sah ada kemungkinan sebagai berikut:
a.       Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya.
b.      Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari ibunya
c.       Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah ibu kandungnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, selanjutnya menurut pasal 43 ayat 1 dikatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Perkataan “diluar perkawinan” sebenarnya tidak sama dengan pengertian “dalam perkawinan yang tidak sah”. Oleh karena “diluar perkawinan berarti tidak melakukan perkawinan alias perzinahan, lain halnya dengan perkawinan yang tidak sah yang belum tentu dapat dikatakan perzinahan. Hal ini dapat menimbulkan salah tafsir. (Hilman Hadikusuma, 1995: 143-144)
Menguraikan sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, tidak dapat terlepas dari sistem kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Sistem kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.
2.2 Waris Mengenai Anak Angkat, Anak Tiri, Anak Akuan
2.2.1 Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap anak kemekan sendiri yang biasanya diambil dari keturunan yang lebih muda dan pengangkatan anak tersebut harus terang kejelasannya dan disetujui oleh semua anggota kerabat yang bersangkutan. Kedudukan anak angkat demikian sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya, dan anak angkat itu tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya, kecuali apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak lelaki lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari dua orang ayah bersaudara. (Hilman Hadikusuma, 1995: 149-150)
Meskipun anak angkat dalam agama islam tidak berhak mewarisi disebabakan pewarisan haruslah berdasarkan hubungana darah, tetapi dibeberapa masyarakat adat ada semacam kebijakan tertentu bahwa anak angkat berhak mendapat harta warisan orang tua angkatnya. Sejauh mana anak angkat dapat mewaris dari orang tua angkatnya, perlu dilihat latar belakang terjadinya pengangkatan anak, diantaranya karena tidak memiliki keturunan, tidak ada penerus keturunan, menurut adat perkawinan setempat, hubungan baik dan meningkatkan tali persaudaraan, rasa kekeluargaan dan peri kemanusian, dan kebutuhan akan tenaga kerja. (I Gede A.B Wiranata: 2005:260-261)
2.2.2 Anak Tiri
Anak tiri yang dimaksud di sini adalah anak kandung yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan, sehingga salah seorang dari mereka menyebut anak itu sebagai anak tiri. Jadi anak tiri adalah anak bawaan dalam perkawinan. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga/rumah tangga di kalangan masyarakat adat juga terdapat perbedaan-perbadaan, baik dikarenakan susunan kekerabat maupun karena bentuk perkawinan ayah atau ibu kandung dengan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsertakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara atau mendidik mereka tidak ada ubahnya dengan anak sendiri. Demikian pula sebaliknya kewajiban anak tiri terhadap orang tua tiri yang memelihara dan mendidiknya. Namun demikian harus diperhatikan bahwa ayah tiri dalam perkawinan kedua tidak boleh begitu saja melakukan transaksi atas hak milik anak tiri yang masih dibawah umur tanpa ada kesepakatan anggota kerabat. Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan jujur atau semanda tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan ayah atau kekerabatan ibu. Lain halnya dalam bentuk perkawinan mentas, yang berlaku para masyarakat adat seibu sebapak, di mana harta perkawinan orang tua dapat dipisah-pisahkan dengan nyata, antara harta bawaan, harta penghasilan, harta pencaharian dan barang-barang hadiah perkawinan. Dalam hal ini anak tiri pada dasarnya hanya mewaris dari orang tua yang melahirkannya. (Hilman Hadikusuma, 1995: 148)
2.2.3 Anak Akuan
Anak akuan atau juga di sebut “anak semang” (Minangkabau), “anak pupon atau anak pungut” (Jawa), ialah anak orang lain yang diakui anak oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan atau juga dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga pembantu tanpa membayar upah. Demikian kita bnayak dapat melihat keluarga/rumah tangga seseorang yang tidak saja memelihara anggota keluarga sendiri, tetapi juga orang lain yang terdiri dari orang-orang yang kehidupannya susah. Disamping itu ada kemungkinan suatu keluarga yang tidak atau belum mempunyai keturunan, mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai “anak panutan” sebagai anak pancingan, agar keluarga yang memelihara anak itu mendapat keturunan karenanya. Kedudukan anak-anak akuan terhadap orang tua yang mengakui bukan sebagai warisnya, oleh karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya. Kecuali jika kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat. Adakalanya anak akuan itu mendapat bagian harta warisan dari orang tua yang mengakuinya, hal demikian dilakukan karena kebijaksanaan atau belas kasihan orang tua atau pihak kerabat yang mengakuianya.
2.3 Waris Mengenai Anak Sulung
Ahli waris dalam masyarakat matrilineal Ahli waris masyarakat matrilineal adalah anak-anak perempuan, sedangkan anak-anak laki-laki bukan ahli waris. Ahli waris perempuan menguasai dan mengatur harta warisan tetapi dibantu saudara laki-lakinya.
Anak perempuan sulung Anak perempuan sulung berkedudukan sebagai "tunggu tubang" (penunggu harta) dari semua warisan orang tuanya, yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya kepada ahli waris anak perempuan yang lain. Di dalam menguasai dan mengatur harta warisan ini, la dibantu saudara laki-lakinya yang tertua yang disebut "payung jurai" (pelindung keturunan).  Anak laki-laki bisa sebagai ahli waris, apabila dalam keluarga tersebut tidak mempunyai anak perempuan, Jadi, kedudukannya sebagai ahli waris pengganti dengan melaksanakan perkawinan ambil perempuan.


 2.4. Waris Dengan Hibah Wasiat
Hibah-wasiat merupakan jalan pemilik harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Hibah-wasiat maksudnya ialah mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya serta mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya di kemudian hari di antara para ahli waris. Hibah-wasiat dapat meliputi sebagian harta kekayaan yang akan ditinggalkan. Menurut Prof. Soepomo penghibahan mempunyai dua corak sebagai berikut:
a.       Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu isteri dan anak-anak. Jadi tidak lebih dari perpindahan harta benda di dalam ahli waris.
b.      Orang tua yang mewariskan itu meskipun terikat dengan peraturan, bahwa segala anak harus mendapat bagian yang layak sehingga tidak melenyapkan hak waris kepada anak atau isteri.
Fungsi lain dari hibah-wasiat ini untuk mengadakan koreksi terhadap hukum waris menurut peraturan-peraturan tradisional atau agama yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh peninggal warisan.

2.5. Waris Janda/Duda, Ibu, Bibi, Saudara
Untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris, tergantung pada jenis harta yang diwariskan atau diterima oleh ahli waris. Pada rnasyarakat adat Minangkabau biasanya diadakan perbedaan antara harta pusaka dengan harta pencarian. Harta pusaka di Minangkabau, biasanya harta kekayaan tersebut merupakan harta peninggalan turun temurun dari zaman leluhur dan merupakan milik bersama sekerabat dan berada dibawah kekuasaan serta pengawasan tua-tua adat (penghulu, mamak kepala waris). Harta pusaka tersebut merupakan harta pusaka tinggi yang tidak terbagi-bagi oleh pemiliknya tetapi hanya terbagi hak pakainya saja. Harta pusaka tinggi berupa sawah, tanah perladangan dan bangunan rumah adat atau rumah gadang. Kesemuannya itu adalah milik kaum ibu yang menjadi pusat penguasaannya. Harta pusaka ini disamping tidak boleh dibagi-bagi, juga tidak boleh dijual kecuali dalam keadaan terpaksa hanya boleh digadaikan. Disamping itu ada harta pusaka rendah yang artinya semua harta peninggalan dari satu atau dua angkatan kerabat. Harta pusaka ini merupakan harta bersama kerabat yang tidak terbagi-bagi pemilikannya dan akan terus dapat bertambah dengan masuknya harta pencaharian dari para ahli warisnya.
Menurut Landraad Bankinang tanggal 9 Oktober 1935 yang diperkuat Raad van Justitie Padang tanggal 23 April 1936 menyertakan ketentuan adat di Minangkabau maka harta yang diperoleh semasa perkawinan disebut harta persaurangan atau harta pencarian dan isteri berhak atas sebagian dari harta pencarian itu, dengan ketentuan bahwa pembagian hanya dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut berakhir atau adanya perceraian, pada pembagian suami isteri masing-masing memperoleh bagian yang sama dari harta tersebut setelah dibayar terlebih dahulu hutang-hutangnya.
2.5.1. Kedudukan Janda
Kedudukan janda menurut ketentuan hukum adat pada saat ini telah mengalami penggeseran dan perubahan. Dikatakan demikian karena dalam perkembangannya sudah banyak masyarakat pedesaan yang menuntut ilmu keluar daerah sehingga pola pikir mereka semakin maju yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita, sehingga mereka lebih menghargai hak dan kedudukan wanita apalagi wanita tersebut sebagai isteri dan sebagai ibu yang banyak berjasa dalam kehidupan berumah tangga. Dengan perkembangan pola pikir dan ditambah dengan pembauran dengan masyarakat adat lain maka perkembangan hukum waris adat sekarang cenderung pada kearah yang lebih netral yaitu mendekati asas persamaan hak antara pria dan wanita, sehingga sistem yang tadinya keras dan kokoh terhadap aturan adatnya menjadi lebih toleran dan manusiawi terutama menjadi semakin menghargai hak dan kedudukan janda terhadap harta peninggalan suaminya.
Hak dan kedudukan janda menurut hukum waris adat suku Dayak Ngaju adalah bahwa janda diakui sebagai ahli waris, Namun harta warisan suaminya tidak boleh dikuasai sendiri tetapi dikelola bersama-sama untuk kepentingan bersama (para janda dan anak-anaknya). Baik isteri pertama Maupun isteri kedua kedudukannya sama sebagai ahli waris atas harta peninggalan suaminya. Namun isteri pertama biasanya lebih dihormati dalam keluarga, seperti keputusan masalah-masalah keluarga terlebih dahulu dimintakan pendapat isteri tertua. Apabila janda tersebut kawin lagi baik dengan kerabat sendiri maupun dengan orang luar suku maka kedudukanya sebagai ahli waris dicabut.
Adapun juga kedududkan janda di daerah Minangkabau, disini Janda wajib tetap berada dalam ikatan kekelurgaan kerabat suaminya, bahkan sering janda menjadi isteri dari saudara suaminya. Sebenarnya dalam stelsel kekeluargaan matrilineal mengandung prinsif tidak mengenal adanya harta bersama. Baru pada tahun 1963 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 290/Sip/1963 telah ditetapkan bentuk harta bersama dikalangan masyarakat Minangkabau. Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut dipertimbangkan bahwa menurut hukum adat Minangkabau dalam perkembangannya dewasa ini seorang suami dapat menghibahkan harta pencariannya kepada isterinya.

2.5.2. Kedudukan Duda
Pada masyarakat matrilineal yang sistem pewarisannya ditarik dari garis perempuan atau ibu, seperti pada masyarakat Minangkabau yang bentuk perkawinannya adalah samanda bahwa seorang duda tidak mewaris harta peninggalan dari almarhum isterinya. Apabila duda tersebut tidak kawin lagi dengan saudara kandung mendiang isterinya dulu, maka anak - anak dan harta warisan tinggal ditempat isteri diurus oleh kepala waris, dan apabila duda tidak mempunyai anak dan pergi meninggalkan tempat kedudukan isterinya semula maka ia hanya diperkenankan membawa bagian harta pencarian saja.
Di daerah Lampung banyak yang melaksanakan perkawinan Semanda misalnya di daerah lampung peminggiran, janda sebagai penguasa dan pemilik harta bukan ahli waris suaminya. Oleh karena harta pencarian bersama suaminya pada dasarnya dikuasai oleh isteri. Dan apabila isteri yang meninggal dunia dan suami pergi dari tempat isterinya maka ia hanya berhak atas sebagian dari harta pencaharian, jika janda tidak mempunyai keturunan anak. Akan tetapi jika ada keturunan anak maka harta tersebut diberikan kepada anaknya semua.
2.5.3. Waris Ibu
Ibu merupakan simbol kehormatan dan kemuliaan dalam masyarakat. Di Minangkabau Ibu memiliki kedudukan yang khusus yang berbeda dari kedudukan ibu secara umum. Kedudukan yang khusus bagi seorang ibu dalam adat minangkabau dipengaruhi oleh sistem kekerabatan matrilineal yang khas. Ibu adalah sebutan bagi perempuan dewasa yang layak disebut sebagai bundo kanduang. Menurut garis kekerabatan matrilineal, pemilik harta di minangkabau adalah kaum wanita. Laki-laki tidak berhak untuk memiliki harta pusaka, namun ia diberi kewajiban untuk mengembangkan harta tersebut. Harta yang kita maksud adalah harta pusaka. Penguasaan harta pusaka berdasarkan matrilineal berada pada wanita tertua dalam sebuah kaum. Wanita ini disebut Amban Puruak. Harta pusaka diatur penggunaannya oleh Amban Puruak. Oleh sebab itu Amban Puruak merupakan lambang kekuasaan ibu dalam sebuah kaum. Harta ini merupakan warisan turun temurun menurut garis ibu, dan tidak boleh dibagi-bagi oleh pewarisnya.  Harta pusaka adalah warisan yang menurut adat minangkabau diterima dari mamak kepada kemenakan. Setiap harta pusaka selalu dijaga pelihara agar tetap utuh. Menjaga keutuhan harta pusaka ini berarti menjaga keutuhan kaum kerabat. Hingga harta ini dapat diturunkan kepada generasi berikutnya, sebagai penerus keturunan. Begitulah proses harta pusaka dijaga dan dipertahankan.
Harta diturunkan dari mamak kepada kemenakan, kemenakan disini adalah kemenakan yang perempuan sebagai penerus garis keturunan. Kemenakan yang laki-laki tidak berhak untuk mendapatkan warisan tersebut. Walau demikian kemenakan yang laki-laki diberi kewajiban untuk menjaga dan mengembangkan harta pusaka tersebut. Dalam penggunaannya di atur oleh kaum ibu (perempuan). Sebagai pemilik harta, ibu harus menggunakannya sesuai dengan ketentuan adat. Pada dasarnya penggunaan harta tersebut dibagi menjadi 2 yaitu, pertama, harta tersebut dikembangkan sehingga hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kedua, harta dan hasil harta yang telah dikembangkan tersebut disimpan untuk keperluan nanti apabila ada kebutuhan yang mendesak. Akan tetepi dalam penggunaannya dibatasi dan diatur oleh adat minangkabau.
2.5.4. Waris Bibi
Seperti yang dijelaskan pada golongan keempat yaitu Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah.
Dalam Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara, selanjutnya Negara wajib melunasi utang-utang si peninggal harta warisan sepanjang harta warisan itu mencukupi. Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu
Ahli waris ini diatur dalam pasal 858 KUHPerdata. Dalam hal tidak ada saudara baik laki-laki maupun prempuan dalam garis keatas (artinya sudah tidak ada lagi golongan I, II, dan III) maka keluarga terdekatlah yang masing-msing mendapat ½ bagian.  Sementara 1/2 bagian sisanya untuk bagian sanak saudara dalam garis lain. Seperti paman, bibi dari garis ibu beserta keturunannya, pama, bibi dari garis ayah beserta keturunannya. Dimana dari pihak ibu memperoleh seluruh harta warisan, sedangkan bibi dari pihak ayah memperoleh seluruh harta warisan disebabkan tingkatnya yang dekat.
2.5.5. Waris Saudara
Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal descen yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini, seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini juga mempunyai arti pada penerusan harta warisan, dimana seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun menurut garis ibu. Pada dasarnya kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Saudara yang termasuk sebagai salah satu ahli waris, berhak untuk menggunakan harta warisan yang menjadi bagian Saudara. Sebagai salah satu ahli waris, Anda dapat meminta pembagian warisan karena Anda sebagai ahli waris tidak diharuskan menerima berlangsungnya harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi. Apabila seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seorang saudari perempuan  sekandung atau seibu, maka bagian saudarinya setengah bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris. Apabila almarhum hanya mempunyai saudara perempuan sekandung atau seibu, maka saudaranya itu berhak mewarisi dari harta peninggalan  saudara atau saudarinya yang meninggal.
2.6. Waris Kehilangan Hak Waris, Waris Punah,Waris Menolak Warisan
2.6.1. Waris Kehilangan Hak Waris
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi beberapa unsur unsur persyaratan yang harus dipenuhi :
1.      Ada seseorang yang meninggal dunia atau pewaris (erflater). Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang . Sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya.
2.      Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat meninggal dunia atau ahli waris (erfgenaam)
3.      Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan atau harta warisan (nalatenschap).
Dalam hal hilangnya hak mewarisi tidak terdapat perbedaan antara ahli waris berdasar Undang-undang dan ahli waris menurut wasiat. Orang-orang yang tidak berhak mendapat warisan/hilangnya hak waris dari pewaris karena perbuatannya yang tidak patut (onvarding) seperti:
1.      Karena telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris (pasal 838 ayat 1).
2.      Karena memfitnah atau telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun (pasal 838 ayat 2)
3.      Karena dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya (pasal 838 ayat 3)
4.      Karena telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris (pasal 838 ayat 4)
5.      Menolak untuk menjadi ahli waris (pasal 1057). Penolakan warisan tidak dapat dilakukan hanya untuk sebagian harta warisan, ini karena penolakan warisan tersebut mengakibatkan orang tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Pasal 1058KUHPerdata). Dengan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, maka orang tersebut tidak berhak atas harta warisan.
Akibat hukum dari hilangnya hak waris seseorang meurut KUH Perdata adalah tidak patut untuk mewaris dari harta warisan orang tuanya dan konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan oleh para ahli waris tesebut yang tidak pantas adalah batal dan bahwa seorang hakim dapat menyatakan “tidak pantas”. Selanjutnya dalam pasal 839 KUHPerdata, mewajibkan seorang ahli waris yang tidak pantas tersebut untuk mengembalikan hasil yang ia telah petik dari barang-barang warisan. Dalam pasal ini jelaslah seseorang yang telah menerima barang-barang pewaris yang kemudian dinyatakan tidak pantas menjadi ahli waris, maka harus mengembalikan dari hasil yang telah ia terima itu. Adapun Akibat dari menolak warisan ialah dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anaknya-anaknya yang masih hidup.

2.6.2. Waris Punah
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahliwaris (punah) atau lazim disebutnunggul pinang. Menurut ketentuanyang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh kepada desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur,kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkan kepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepadaorang tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desadapat juga diserahkan kepada yayasan sosial. Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa barat di Bandung, memutuskan:“Apabila seseorang tidak mempunyai anak kandung, maka keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yang merupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisan orang tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB.
2.6.3. Waris Menolak Warisan
Penolakan dalam hal waris ialah seorang ahli waris yang menolak harta peninggalan dari ahli waris yang seharusnya menjadi haknya, hal tersebut disebabkan beberapa hal atau masalah yang berkenan dengan ahli waris dengan si pewaris.
Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya. Apabila terjadi penolakan, maka saat itu mulai berlakunya penolakan dianggap terjadi sejak hari meninggalnya si pewaris jadi berlaku surut (Pasal 1047). Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan pertanggungjawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan. Dalam hal seseorang menolak warisan yang jatuh kepadanya, orang tersebut harus menolaknya secara tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka (Pasal 1057 KUHPerdata).
Didalam Pasal 1057 Menyatakan sebagai berikut:
“Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu penyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya  telah terbuka warisan itu”.
Dari penjelasan pasal diatas menekankan bahwa seorang ahli waris menolak untuk menerima suatu warisan, maka si pewaris yang menolak tersebut harus memberikan suatu pernyataan dengan tegas, bahwa warisan itu ditolaknya dan hal tersebut harus dilakukan menghadap pengadilan di pengadilan negeri.
Hak untuk menolak baru timbul setelah warisan terbuka dan tidak dapat gugur karena daluwarsa (pasal 1062).
Pasal 1063 Menyatakn sebagai berikut:
“Sekalipun dalam suatu perjanjiann kawin, tak dapatlah sesorang melepaskan haknya atas warisan sesorang yang masih hidup, begitupun tak dapatlah ia menjual hak-hak yang di kemudian hari akan diperolehnya atas warisan yang seperti itu”.
Jika terdapat beberapa ahli waris, maka yang satu boleh menolak sedangkan yang lain menerima warisan (Pasal 1050)
Akibat Penolakan
Azas pokonya tergantung dalam pasal 1104; harta peninggalan dibagi seolah-olah ahli waris yang telah menolak, tidak ada. Pergantian tidak terjadi bagi dia. Sebagaimana yang telah dibentangkan, bahwa pergantian hanya dapat terjadi untuk seorang yang meninggal lebih dahulu. Undang-undang menutup pasal tersebut dengan kata-kata : “ apabila ia satu-satunya ahli waris dalam derajatnya, atau semua ahli waris telah menolak warisan, maka tampilah anak-anak  untuk diri sendiri dan mewaris sama banyak”. Hal ini benar selama mengenai kelompok pertama dan kedua. Apabila semua anak pewaris menolak, maka cucu mewarisi untuk diri sendiri, kecuali kalau ada suami dan istri, karena ia menghalangi cucu tampil untuk diri sendiri, hal yang seperti itu juga ditemukan dalam kelompok kedua.
Akibat penolakan warisan diatur dalam pasal 1058, 1059, dan 1060.
Pasal 1058 BW menyatakan sebagai berikut :
“si waris yang menolak warisannya, diangap tidak pernah menjadi waris”
Maksud dari pasal tersebut adalah apabial si pewaris yang sudah menolak warisan yang diberikan, maka ahli waris tersebut dianggap tiak pernah ada.
Didalam Pasal 1059 menyatakan sebagai berikut :
“Bagian warisan seseorang yang menolak jatuh kepada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si waris yang menolak itu tidak hidup pada Waktu meninggalnya orang yang mewariskan”.
 Maksud dari pasal1059 diatas adalah ketika yang mewaris tersebut menolak, dan ketika pada saat meninggalnya pewaris, si mewaris sudah meninggal, maka bagian yang ditolak tersebut jatuh kepada orang yang berhak atas bagian tersebut.
Pasal 1060 menyatakan sebagai berikut :
“Siapa yang menolak warisan, tidak sekali-kali dapat diwarisi dengan cara pergantian , jika ia satu-satunya waris di dalam derajatnya, atau jika kesemuanya waris menolak , maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas Dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama”












BAB III
                                             PENUTUP
                                                     
3.1.Kesimpulan
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Minangkabau merupakan etnis yang menganut tertib aturan hukum ibu (materilineal), dimana dalam pembagain waris secara praktis ditentukan bahwa ahli waris diberikan hanya melalui satu garis keturunan ibu kebawah diteruskan kepa anak cucu melalui anak perempuan, sama sekali tidak ada yang melalui garis laki-lak baik ke atas maupun kebawah.
3.2.Saran
Semoga penulisan makalah ini dapat berguna bagi kita dan juga orang yang lain, makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kami mohon maaf apabila ada salah penulisan, salah maksud, dan salah arti dari makalah ini, makalah ini masih perlu di benahi dan masih perlu di perbaiki, agar makalah ini nantinya dapat berguna bagi orang lain yang membutuhkannya.
Kami  berharap ada yang mau memberikan masukan untuk makalah ini, karna makalah ini masih perlu perbaikan lagi.







DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995
I Gede A.B Wiranata. Hukum adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti:2005
Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia-Ed.1-Cet.13.Jakarta: Rajawali Pers, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar